CATATAN KEDUA DARI TIGA BAGIAN
Menyelami kehidupan UIN Jakarta adalah sebuah cerita tentang kehidupan yang unik dan ‘menakjubkan’ bagi perjalanan hidup selama 23 tahun ini. UIN adalah sebuah nama yang tak pernah terpikirkan sebelumnya dalam benak sang awen. Memang, UIN Jakarta bukanlah pilihan yang aku perhitungkan ketika aku masih menjadi abu-abuers. Cerita buruk seputar UIN Jakarta mengenai kesesatan, orang-orang aneh dan lain-lain memperkuat hal tesebut, terlebih lagi salah seorang teman menyarankanku untuk tidak kuliah di tempat yang katanya sekuler itu. Pilihanku saat itu adalah menunda rencana kuliah selama dua tahun untuk memperdalam ilmu agama islam di pesantren NU dan lantas kuliah di salah satu PTN di bandung. Namun, belum lagi rencana itu terlaksana, sekolah ku (MAN Cipasung) menawariku untuk mengikuti seleksi PMDK di kampus UGM Jogjakarta. Iseng-iseng, aku pun memutuskan untuk mengikuti proses dan ternyata aku pun berhasil lolos seleksi di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Tentu saja, aku merasa girang tak kepalang karena siapa sih yang tidak mau kuliah di UGM. Apalagi namaku tiba-tiba saja menjadi harum semerbak bak selebritis dadakan di sekolah karena berhasil lolos SPMB di UGM. Perlahan mimpi awal untuk menunda kuliah pun luntur dan menghilang dari rencana hidupku ke depan.
Selepas lulus dari sekolah menengah atas, aku pun mantap memutuskan UGM sebagai tujuanku berikutnya untuk menata dan meraih masa depan. Aku merasa sangat-sangat yakin dengan keputusanku untuk kuliah di UGM, kendati banyak keluarga ku yang menolak rencana kuliah di jogja karena alasan jarak (aku berasal dari cianjur) dan tentunya financial. Ditemani oleh ibunda tercinta, aku pun berangkat menuju kota pelajar tersebut. 7 hari menjelang SPMB nasional 2003 merupakan langkah awal untuk menempuh studi di UGM. Berbagai proses administrasi aku lakukan, kartu tanda mahasiswa UGM dan jaket almamater berwarna semu cokelat pun menjadi pertanda awal telah resminya aku menjadi mahasiswa UGM. Selama disana, aku bercengkrama dengan salah satu seniorku yang telah dahulu memasuki rimba kehidupan Jogja dan sekaligus sukses menelurkan karya tulisnya berupa novel terjemahan dari timur tengah. Semakin terpaculah aku untuk meriah sukses masa depan di UGM ini.
Disaat mahasiswa lain tengah sibuk bertarung untuk memperebutkan kursi PTN yang sangat terbatas, aku sudah terlebih dahulu mendapatkan kursi itu. Ah, betapa lega dan bangganya aku waktu itu. Memasuki rimba UGM tanpa Test….
Namun, Tiba-tiba saja, bisikan lain memasuki alam pikiranku tepat di hari ketujuh keberadaanku di jogja. Lebih tepatnya lagi setelah test matrikulasi untuk seluruh mahasiwa yang lolos melalui jalur PMDK. Aku merasa kurang nyaman berada di jogja dan ingin kuliah di tempat lain saja. Entahlah, kenapa tiba-tiba saja aku merasakan hal yang demikian, sebuah alasan yang sekarang pun sangat sulit untuk aku urai. Financial selalu menjadi benteng pertahananku untuk menangkis seputar UGM ini, meskipun tidak benar 100% karena faktanya kampus memberikan keringanan untuk mencicil uang masuk selama satu tahun dan tawaran beasiswa pendidikan dari seniorku di UGM.
Entahlah, yang jelas aku sangat ingin pindah dari jogja, melepas status mahasiswa UGM, dan pokoknya PINDAH. Segera saja aku utarakan niat itu kepada ibuku yang memang menemani ku selama di jogja. Tentu saja, ibuku sangat jengkel dan marah kendati dia tidak mengungkapkannya secara langsung dihadapanku. Aku hiraukan penolakan dia dan tetap dengan pendirianku untuk keluar dari kota jogja hari itu juga. Akhirnya, aku pun keluar dari kota jogja dan sekaligus mendapat semprotan amarah dan rasa jengkel dari seluruh keluargaku setibanya aku di rumah. Uh…
Disinilah sejarahku dengan sebuah kampus bernama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta bermula. Keinginan untuk mengikuti test masuk di perguruan tinggi lain tentu saja mustahil karena waktu pelaksanaan SPMB yang memang sudah lewat. Aku pun menghubungi salah seorang rekan di ciputat seputar test penerimaan mahasiswa baru di UIN. Ternyata, kesempatan itu masih ada. Langsung saja aku bergegas menuju Ciputat dan mendaftarkan diri untuk mengikuti test masuk. Awalnya, aku ingin memilih jurusan komunikasi dan penyiaran islam atau bahasa dan sastra inggris. Tapi, setelah berfikir (meskipun sesaat) pendidikan bahasa inggris pun menjadi pilihanku. Aku hanya memilih satu jurusan dari kemungkinan tiga jurusan yang boleh untuk dipilih.
Aku mengikuti test tanpa persiapan sama sekali apalagi sampai mengikuti bimbingan test masuk ataupun membaca contoh test-test masuk terdahulu. Aku hanya membawa badanku, itu saja. Sambil menunggu pengumuman hasil ujian, aku pun harus menyelesaikan urusan administrasi dengan UGM karena aku masih tercatat sebagai mahasiswa UGM. Aku pun melayangkan surat pengunduran diri kepada rektor UGM yang saat itu masih dijabat oleh Prof.Dr.Sofyan Effendi. Repotnya, surat pengunduran diri saja tak cukup. Ayahku pun ternyata harus langsung datang ke UGM untuk menuntaskan hal ini. Uang pembayaran masuk UGM yang saat itu hanya sekitar 1,5 juta terpaksa harus aku relakan untuk terpotong sebagai konsewensi keputusan ku yang sangat aneh ini. Uh…
Aku pikir keputusan keluar dari UGM merupakan hal paling bodoh terakhir yang aku lakukan, ternyata, kebodohan itu masih berlanjut.
Ketika pengumuman kelulusan ujian masuk UIN Jakarta itu tiba dan aku dinyatakan lolos, perasaan ku pun biasa saja, tak ada kebahagiaan, euforian ataupun yang sejenisnya. Ekspresi wajahku datar-datar saja dan nyaris tak ada senyuman tanda sumringah terpancar dari wajahku. Justru, aku merasa masa setelah pengumuman itu merupakan masa teraneh dalam perjalanan hidupku sejauh ini. Tiba-tiba saja, aku ingin kembali kuliah di Jogja dan menolak kuliah di UIN!!! Sungguh sebuah keputusan yang aneh dan sangat plin-plin. Aku beradu argument lumayan hebat dengan keluarga terutama ayah dan ibu. Mereka lagi-lagi sangat kecewa dan bingung dengan sikap aku. Entahlah, mungkin mereka sendiri sangat kesulitan memahami apa yang terjadi dengan anaknya tercinta ini. Kendati mereka jelas-jelas menolak, tetap saja aku membandel. Tak kehabisan akal, aku pun menghubungi langsung pihak rektorat seputar statusku sebagai mahasiswa UGM. Tragisnya, aku mendapatkan jawaban yang sangat tidak aku harapkan. Mereka telah menerima salinan surat yang aku buat sendiri dan menyatakan
“seorang mahasiswa bernama WENDI WIJARWADI secara resmi sudah mengundurkan diri dan keputusan itu tidak bisa DIRALAT!!!”
Artinya, aku tidak kembali ke pangkuan dan (awalnya terpaksa) menerima nasib untuk menatap masa depan melalui kampus UIN Syahid Jakarta.
Dan perjalanan di Kampus UIN pun di mulai.
……………………………………………………………………………………………..
“LOOK AT PAS WITH GRATITUDE, PRESENT WITH CHEERFUL AND FUTURE WITH CONFIDENCE”
No comments:
Post a Comment